PenaMerahPutih.com
Headline Indeks Polkam

LG Electronics Indonesia Digugat Mantan Direktur Rp 15,6 Miliar, Ini Alasannya

Budi Setiawan mantan Direktur PT LG Electronics Indonesia (tengah) bersama kuasa hukum Kantor Advokat & Penasehat Hukum, Wibowo & Partner jelang sidang di PHI Surabaya, Kamis (27/8/2020).

Surabaya, pmp – Budi Setiawan, mantan Direktur Penjualan PT LG Electronics Indonesia (LGEIN), menggugat LGEIN sebesar Rp 15,6 miliar di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya. Gugatan dilayangkan kepada perusahan produsen elektronik bermerk ‘LG’ tersebut karena pesangonnya masih ditahan setelah mengundurkan diri dari perusahaan.

“Sejak mengajukan pensiun dini tanggal 24 Desember 2019 dan disetujui perusahaan tanggal 30 Desember 2019, pesangon yang seharusnya menjadi hak saya karena mengajukan pensiun dini, hingga saat ini masih ditahan oleh perusahaan, dalam hal ini PT LG Electronics Indonesia yang kantor cabangnya di Jl Tegalsari Nomor 41 Surabaya,” ungkap Budi yang didampingi kuasa hukumnya dari Kantor Advokat & Penasehat Hukum, Wibowo & Partner, jelang persidangan yang digelar di PHI Surabaya, Kamis (27/8/2020).

Budi yang sudah bekerja  di perusahaan tersebut lebih dari 23 tahun, tepatnya sejak Mei 1996, mengungkapkan alasan pengajuan pensiun dini dirinya, bermula dari hubungan yang tidak harmonis dengan pihak perusahaan, menyusul keinginan untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berujung pada wacana pembuatan Serikat Karyawan (SP).

Baca Juga :   Gugatan Hak Rp 15,6 Miliar Ditolak, Eks Direktur PT LG Ajukan Kasasi

“Tujuan saya saat itu karena keinginan untuk mewadahi aspirasi karyawan di luar pabrik Tangerang dan Bekasi,” paparnya.

Hingga akhirnya, pada 2018 berdirilah SP yang diberi nama SERASA singkatan dari Serikat Karyawan Sales Adminitrasi yang terdaftar di Disnaker Jakarta Selatan, pada 30 November 2018.

“Namun buntut pendirian SP inilah yang akhirnya membuat posisi saya terancam. Apalagi ketika keberadaan SP mulai dipertanyakan direktur yang baru,” urai Budi yang diamini Dr Sunarno Edy Wibowo, SH, MHum, kuasa hukumnya.

Demosi Direktur Jadi Kepala Cabang

Sunarno mengatakan, pascakonflik PKB dan SP itulah suasana kerja menjadi tidak nyaman.  Seung Min Park sebagai atasan terus berusaha mencari-cari kesalahan kliennya hingga berujung pada pemberian Surat Peringatan Tingkat 3 (SP3) dengan tuduhan kliennya telah bekerjasama dengan supplier.

“Sejak itu SP tidak ada kegiatan karena takut, hingga akhinya pada 20 Desember 2019, tiba-tiba klien saya dicopot dari jabatannya (demosi) dari Sales Director menjadi Kepala Cabang. Sedangkan Kepala Cabang di Surabaya didemosi menjadi salesmen,” ungkapnya.

Baca Juga :   Gugatan Hak Rp 15,6 Miliar Ditolak, Eks Direktur PT LG Ajukan Kasasi

Dari fakta di atas, lanjut Sunarno, jelas sekali kliennya dirugikan melalui SP3 dan Surat Demosi yang tidak sesuai dengan prosedur PKB dan tidak memiliki subtansi kebenarannya alias cacat prosedural.

“Atas tindakan di atas, ya sebagai karyawan, klien saya berhak untuk menuntut hak-haknya, salah satunya hak pesangon sebagai Kepala Departemen Penjualan, yang sesuai UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan setelah dihitung mencapai Rp 5,37 miliar,” paparnya.

Selain itu, Sunarno juga meminta kliennya mendapatkan kerugian atas hak cuti tahunan untuk tahun 2019 sebesar Rp 84,65 juta, juga hak cuti besar selama 6 tahun terakhir Rp 148,14 juta.

“Selain itu juga, perusahaan harus membayar kerugian immaterial yang diderita klien saya sebesar Rp 10 miliar. Sehingga totalnya mencapai Rp 15,6 miliar,” tegasnya.

Baca Juga :   Gugatan Hak Rp 15,6 Miliar Ditolak, Eks Direktur PT LG Ajukan Kasasi

Permintaan kerugian yang cukup besar itu sepadan dengan kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat karena melanggar Pasal 28 butir a UU No. 21/2000 tetang Serikat Pekerja/Buruh yang berbunyi, “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan /atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara, melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi”.

“Perlu diingat, SP3 juga Surat Demosi yang tidak sesuai prosedur PKB berikut penyebaran ke seluruh karyawan lewat surat elektronik dan sampai merembet ke dealer-dealer, telah menjatuhkan harga diri klien saya. Ini tidak sepadan dengan dedikasinya selama bekerja di PT LGEIN sejak 1996,” tegasnya.

Oleh sebab itu Sunarno berharap, PT LGEIN memenuhi tuntutan penggugat. Ia menandaskan tindakan menahan uang pensiun sebagai hak karyawan adalah salah.(hps)