PenaMerahPutih.com
HeadlineIndeksWow

Semangat Ibu-Ibu Kalanganyar Mengolah Limbah Sisik Bandeng dan Kerang Jadi Cuan

Cangkang Kece Olikan
Cangkang kerang berserakan di bantaran pelabuhan rakyat Desa Gisik Cemandi, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.(pmp-hapsah)

Sidoarjo, pmp – “Mak, sisik ikan bandeng ini buat apa dikreseki terpisah dari duri dan jerohan?” tanya Nisa (18) kepada Anis (41), saat melihat emaknya memasukkan limbah sisik ikan ke dalam tas plastik kresek.

Sebagai anak yang ibunya berprofesi pencabut duri ikan bandeng selama empat tahun, Nisa tentu hafal bahwa limbah hasil cabut duri berupa sisik, duri dan jerohan, selama ini oleh emaknya dijadikan satu dan dibuang, atau terkadang diminta tetangga yang memelihara bebek.

“Sisik ikan ini sudah dipesan Bu Sa’adah, dia bilang mau diolah menjadi kerupuk. Emak juga heran, apa bisa sisik ikan bandeng diolah jadi kerupuk? Kalau memang bisa diolah ya bagus, bisa jadi duit,” jawab Anis.

Keheranan Anis yang setiap hari mencabut duri sekitar 130 ekor ikan bandeng dengan upah antara Rp 1.500 hingga Rp 3.000 per ekor itu sebenarnya wajar, mengingat sisik ikan bandeng merupakan limbah yang selama ini belum termanfaatkan di desa mereka, Desa Kalanganyar.

Syukurlah saat ini, sekelompok ibu Desa Kalanganyar, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, yang merupakan sentra penghasil ikan bandeng, sedang giat mengolah limbah sisik menjadi kerupuk yang diberi nama Kerupuk Olikan atau Olahan Limbah Ikan, berkat pelatihan dan pendampingan yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga Marketing Regional Jatimbalinus melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Juanda, lewat Program Tangung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau corporate social responsibility (CSR) yang diberi nama Program Kalanganyar Sentris Berseri.

Sisik Ikan Bandeng Olikan
Anis membersihkan sisik ikan di lapak cabut durinya di Jalan Raya Kalanganyar.(pmp-hapsah)

Tak hanya kelompok Olikan yang didampingi Pertamina DPPU Juanda, Program Kalanganyar Sentris Berseri juga menyasar sekelompok ibu lainnya yang mengolah limbah kerang berupa cangkang atau rumah kerang untuk dijadikan kerajinan tangan atau handycraft agar mendapatkan tambahan penghasilan di masa pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19 mereda.

Cangkang kerang yang berlimpah di desa tetangga, yakni Desa Banjar Kemuning dan Desa Gisik Cemandi yang selama ini dibuang begitu saja oleh nelayan dan pengepul kerang, dimanfaatkan para ibu Kalanganyar untuk membuat kerajinan yang diberi label jual KeCe atau Kerang Collection.

Sehari 1,5 Ton Bandeng

Sebagai warga desa penghasil ikan bandeng, wajar jika Anis dan seratusan ibu warga Desa Kalanganyar memilih profesi pencabut duri ikan bandeng atau milkfish yang merupakan ikan payau karena dapat hidup di air tawar maupun air laut.

Berbekal keterampilan cabut duri yang didapat dari pelatihan yang awalnya diberikan Dinas Perikanan dan kemudian diajarkan getok-tular, mereka mengais rezeki dengan mencabuti duri di antara daging bandeng yang secara teori berjumlah 164 duri, sekaligus membersihkan sisik dan jerohan ikan bandeng yang merupakan komoditas utama Desa Kalanganyar yang rata-rata setiap hari memproduksi 1,5 ton dan dipastikan meningkat menjadi 3 ton hingga 4 ton pada bulan-bulan tertentu saat masyarakat ramai menggelar hajatan.

Maklum saja, Desa Kalanganyar yang luasnya sekitar 3.000 hektare, hanya 50 hektare yang menjadi area pemukiman bagi 5.200 penduduk yang tersebar di 23 RT, sementara sisanya 2.950 hektare merupakan lahan tambak yang hampir semuanya ditanami ikan bandeng, selain udang dan ikan lainnya. Lahan tambak itu dimiliki sekitar 700 warga yang rata-rata memiliki tambak seluas empat hektare.

Jika selama ini Sidoarjo dikenal sebagai sentra ikan bandeng Jawa Timur, maka penghasil utamanya tak lain Desa Kalanganyar yang secara geografis terletak paling timur Sidoarjo, menghadap Selat Madura dengan panjang bibir pantai 9,7 km atau terpanjang dibandingkan desa-desa lainnya. Desa Kalanganyar berada di tenggara Bandara Internasional Juanda sehingga termasuk wilayah ring-1 Pertamina DPPU Juanda.

Kerupuk Olikan Kalanganyar
Membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk mencabuti 164 duri di tubuh seekor ikan bandeng dengan pinset.(pmp-hapsah)

Profesi cabut duri ikan bandeng di Kalanganyar bukan pekerjaan remeh-temeh karena menjanjikan penghasilan lebih dari UMR Kabupaten Sidoarjo tahun 2021 sebesar Rp 4,3 juta. Anis misalnya, jika sehari rata-rata cabut duri 130 ekor yang masing-masing memerlukan waktu lima menit dan menerima upah minimal Rp 1.500 per ekor, maka dalam sehari dia mengantongi Rp 195 ribu atau hampir Rp 6 juta per bulan.

“Sebenarnya dalam sehari saya bisa mencabuti duri 150 ekor bandeng, tapi ternyata tubuh yang tidak kuat,” kata Anis di lapak cabut durinya di Jalan Raya Kalanganyar, Kamis (21/102021).

Lantas siapa konsumen jasa cabut duri?

Pertama tak lain ratusan warga Desa Kalanganyar yang berprofesi sebagai pelaku UMKM produsen makanan olahan ikan bandeng, seperti otak-otak bandeng, bandeng bakar, bandeng asap, bandeng capit, bandeng presto, hingga sate bandeng yang dijual lokal, luar daerah, bahkan luar provinsi.

Ikan bandeng yang bakal diolah, ternyata harus dicabuti durinya agar tak menggangu saat dikonsumsi, selain produk bandeng presto yang memang masih menyertakan sisik dan duri karena bakal lunak setelah diolah dengan suhu dan tekanan tinggi.

Konsumen kedua cabut duri adalah para pemancing yang setiap hari berdatangan ke Kalanganyar untuk menyalurkan hobi yang dipastikan membeludak di hari libur. Terdapat tujuh kolam pancing milik warga yang luasnya masing-masing sekitar 10 hektare.

Sebelum para pemancing ini membawa hasil pancingan pulang, mayoritas mencabutkan duri dengan tarif antara Rp 2.500 atau Rp 3.000 per ekor sehingga hanya membawa daging bandeng bersih yang siap dimasak di rumah.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU JUanda
Ikan bandeng ‘Bibir Merah’ komoditas utama Desa Kalanganyar yang rata-rata setiap hari memproduksi 1,5 ton.(pmp-hapsah)

Meski ikan bandeng mendatangkan rezeki bagi sekitar 70% warga Desa Kalanganyar, namun muncul persoalan terkait limbah dari proses pengolahan ikan bandeng karena 30% dari tubuh ikan bandeng merupakan limbah buangan seperti sisik, sirip, duri dan jerohan. Jika sehari diproduksi 1,5 ton ikan bandeng, maka potensi limbah di Desa Kalanganyar mencapai 500 kg per hari.

Baca Juga :   Solidaritas ‘Perwira’ Pertamina Penyintas COVID-19 Berdonor Plasma Buat Indonesia

“Dulu limbah ikan bandeng menjadi masalah di Kalanganyar karena menumpuk dan baunya menyengat sehingga kami harus membuat TPA sendiri yang diberi nama Sopo Nyono. Tapi kemudian limbah mulai berkurang ketika masyarakat sudah mulai bisa mengolah duri dan jerohan menjadi produk olahan,” kata IrhamTaufiq (51), Kepala Desa Kalanganyar, saat ditemui di Kantor Desa, Kamis (21/10/2021).

Menurut Kades Irham yang telah menjabat dua periode sejak tahun 2013, sudah lama dia punya impian agar limbah ikan bandeng di desanya bisa diolah menjadi makanan atau bahan lainnya yang memberi nilai ekonomis bagi warga. Untunglah beberapa waktu kemudian, limbah duri sudah bisa diolah warga menjadi abon dan tepung ikan, sementara jerohan menjadi masakan botok.

“Sampai tahun 2021 ini hanya sisik yang belum bisa diolah. Untung ada Pertamina yang membantu mencarikan solusi melalui program CSR, sehingga saat ini warga kami sudah bisa mengolah sisik ikan menjadi kerupuk. Bahkan kerupuknya sudah dijual dalam kemasan yang diberi nama Kerupuk Olikan,” kata Kades Irham sembari tertawa bangga.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU Juanda
Kades Kalanganyar Irham Taufiq senang limbah bandeng berupa sisik, duri dan jerohan sudah bisa diolah warga sehingga bernilai jual.(pmp-hapsah)

Pesanan Terus Berdatangan

Jarum jam belum genap menunjuk angka sepuluh, saat Sa’adah  (50) sampai di rumah Solihah (48) di Jalan Romli Timur RT 21 Desa Kalanganyar, setelah berkeliling menjemput sisik ikan bandeng yang sudah dipesannya dari beberapa ibu pencabut duri, termasuk Anis.

Sa’adah yang menjadi ketua kelompok ibu pembuat Kerupuk Olikan datang ke rumah Solihah yang disepakati menjadi pusat pembuatan kerupuk sisik ikan. Pada Rabu pagi itu (20/10/2021) yang bertepatan hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW, 10 anggota Kelompok Olikan yang mayoritas ibu rumah tangga dan hobi memasak sudah berkumpul untuk bergotong-royong membuat kerupuk sisik ikan guna memenuhi pesanan.

“Alhamdulillah kami baru saja dapat pesanan lagi sebanyak 20 kg kerupuk Olikan. Meski usaha ini baru berjalan empat bulan, sekitar sebulan lebih ini ketika PPKM sudah mulai dilonggarkan, pesanan terus berdatangan yang artinya kerupuk sisik ikan ini mulai dikenal dan disukai masyarakat,” kata Sa’adah.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU Juanda
Sisik ikan dijemur, jika masih ada lalat mengerumuni artinya proses mencuci kurang bersih sehingga harus dicuci ulang.(pmp-hapsah)

Kesepuluh ibu yang merupakan warga dari beberapa RT di Desa Kalanganyar, yakni RT 6, RT 16, RT 17 dan RT 21 itu berbagi tugas, ada yang menjemur sisik, memresto sisik, memblender, meramu adonan, menguleni atau mencampur adonan dengan tangan hingga tak lengket, mengukus, hingga memotong-motong tipis adonan menjadi kerupuk mentah yang siap goreng.

Menurut Sa’adah, proses paling awal pengolahan sisik ikan adalah mencucinya bersih dengan air yang ditambahkan perasan jeruk nipis atau sitrun untuk menghilangkan bau amis, kemudian menjemurnya selama tiga hari agar benar-benar kering dan higienis.

“Jika saat dijemur masih ada lalat mengerumuni sisik ikan, itu artinya proses mencuci tidak maksimal dan kurang bersih sehingga harus dicuci ulang,” imbuhnya.

Setelah sisik ikan kering jemur, proses pengolahan dimulai dengan mempresto sekitar 30 menit agar teksturnya menjadi lunak untuk selanjutnya diblender agar lembut. Sisik ikan hasil pemblenderan kemudian dicampur menjadi adonan dengan bahan-bahan seperti tepung tapioka, bawang putih yang sudah dihaluskan, garam, gula, juga pewarna roti jika ada pesanan warna tertentu.

Seluruh bahan kemudian diuleni atau dicampur rata dengan tangan hingga kalis atau tidak lengket di tangan, kemudian dibentuk lonjong dengan panjang tertentu agar bisa dimasukkan dandang untuk dikukus.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU JUanda
Ibu-ibu kelompok Olikan bergotong-royong membuat kerupuk sisik ikan.(pmp-hapsah)

“Adonan perlu dikukus agar matang dan menguatkan rasa. Dulu awalnya adonan kami rebus dan ternyata gagal total karena rasa gurih dan warnanya justru hilang bercampur air,” kata Sa’adah.

Setelah dikukus, adonan diangin-anginkan dan kemudian dimasukkan kulkas agar lebih padat sehingga mudah diiris tipis-tipis menjadi kerupuk mentah.

“Irisan kerupuk mentah kemudian dijemur lagi agar siap digoreng dan hasilnya dijamin gurih dan kriuk,” kata Sa’adah sembari tersenyum dan mengacungkan jempol.

Sejak dilatih pada Juni dengan protokol kesehatan ketat karena pandemi sedang tinggi, saat ini kelompok Olikan baru mampu memproduksi 5 kg sampai 6 kg kerupuk mentah dalam sehari. Kerupuk Olikan dikemas dalam bentuk mentah atau digoreng matang. Jika mentah harganya per 1 kg dibanderol Rp 50 ribu, sedangkan kemasan 250 gram dihargai Rp 15 ribu. Sementara kerupuk matang kemasan 100 gram dijual Rp 12 ribu.

“Saat ini semua proses pengolahan masih manual, mulai dari mencampur adonan hingga mengiris. Orang Pertamina bilang akan membelikan kami mesin pemotong agar prosesnya lebih cepat dan hasil irisan lebih rapi,” tambah Solihah pemilik rumah.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU Juanda
Adonan perlu dikukus agar matang dan menguatkan rasa.(pmp-hapsah)

Dilatih Chef Profesional

Proses menghasilkan Kerupuk Olikan yang gurih dan kriuk ternyata tak mudah karena para ibu harus terlebih dulu menguji coba berbagai takaran adonan yang pas. Begitu pula untuk menentukan apakah adonan dikukus atau direbus, juga saat menentukan berapa lama adonan didinginkan dalam kulkas.

Hal yang menarik, proses awal para ibu mengolah limbah sisik ikan menjadi kerupuk ternyata didampingi seorang chef profesional pemenang 10 besar program televisi pencarian juru masak, yakni Chef Teguh yang secara khusus didatangkan Pertamina agar para ibu bersemangat mendapatkan hasil terbaik.

Menurut Sarahah (39), sekretaris  kelompok Olikan, mereka berkesempatan didampingi Chef Teguh sebanyak empat kali agar mahir mengolah, termasuk membantu menemukan resep adonan kerupuk paling pas.

Baca Juga :   Serambi MyPertamina dan Modular Dispenser BBM Jadi Primadona Layanan Mudik Di Jatim

Tak hanya mendatangkan ahli memasak, Pertamina juga memberi modal awal Rp 1 juta dan bantuan berbagai peralatan membuat kerupuk, mulai dari panci presto, dandang kukus, kompor, gas LPG, kulkas, pisau, blender, timbangan digital, plastik kemasan, toples, etalase, hingga logo Olikan untuk ditempel di kemasan.

“Kami memang mendorong ibu-ibu Olikan agar menghasilkan produk yang tak hanya enak, namun juga higienis karena ke depan kami berharap kerupuk olahan limbah sisik ikan ini bisa menjadi produk halal yang banyak disukai konsumen,” kata Risnani Puji Rahayu, fasilitator program CSR.

Olikan Kalanganyar Pertamina DPPU JUanda
Kerupuk Olikan dari sisik ikan bandeng dipuji kelezatannya oleh Ketua Asmaminda Sidoarjo.(pmp-hapsah)

Sebenarnya Pertamina tak hanya mengajarkan agar piawai membuat kerupuk, tapi juga mengajarkan manajemen keuangan, strategi pemasaran, juga membantu membuka pasar baik secara offline maupun online.

Kelompok ibu Olikan memiliki manajemen keuangan di mana 50% hasil penjualan dikembalikan untuk memperbesar modal, sementara 50% dibagi bersepuluh sebagai penghasilan.

“Uang yang kami terima saat ini memang belum besar, namun kami optimis Kerupuk Olikan akan semakin laris karena pesanan terus berdatangan,” kata Istifah (36), bendahara kelompok Olikan.

Solihah pun menyeletuk, ”Semoga hasil Kerupuk Olikan bisa mengantar kami pergi umroh”, yang segera diaminkan ibu-ibu lainnya.

Harapan yang tak sekedar menggantang asap, mengingat kelezatan Kerupuk Olikan sudah banyak dipuji, salah satunya oleh Sulaihan, Ketua Asosiasi Makanan dan Minuman Daerah (Asmaminda) Sidoarjo yang kemudian mengajak kerja sama untuk memasarkan Kerupuk Olikan lebih luas.

Optimisme para ibu Olikan semakin membuncah karena Pertamina berkomitmen mengikutkan Kerupuk Olikan di berbagai pameran UMKM untuk membuka pasar lebih luas. Sementara untuk tahap awal, penjualan Kerupuk Olikan salah satunya dipajang di etalase Kantor BUMDes Kalanganyar Makmur yang ramai didatangi orang karena menyediakan jasa transportasi dan wisata, jasa simpan-pinjam, juga jasa kurir.

Hal yang mengharukan, belakangan banyak ibu lainnya di Kalanganyar yang datang dan melamar untuk bergabung dengan kelompok Olikan agar bisa terlibat membuat kerupuk sisik ikan dan mendapat penghasilan, atau merayu Sa’adah dan anggota lainnya agar bersedia mengajarkan ilmu membuat kerupuk sisik ikan.

“Saya sampaikan ke ibu-ibu itu bahwa ke depan insyaallah Pertamina memperbanyak anggota pembuat kerupuk sisik ikan, namun di awal ini baru 10 anggota sebagai perintis usaha,” kata Sa’adah.

Olikan Kalanganyar
Ibu-ibu kelompok Olikan optimis kerupuk olahan limbah sisik ikan mereka bakal semakin laris karena pesanan terus berdatangan.(pmp-hapsah)

Cangkang Pelabuhan Rakyat

Sebenarnya selain 10 ibu perintis pengolah limbah sisik ikan menjadi Kerupuk Olikan, masih ada 10 ibu lainnya di Desa Kalanganyar yang dilatih Pertamina untuk membuat kerajinan tangan dari limbah kerang berupa cangkang.

Para ibu yang mayoritas sudah memiliki mata pencaharian seperti perias pengantin, pembuat parsel, atau pemilik toko kelontong itu bersemangat membuat handycraft  cangkang karena mereka mendapat peluang menambah penghasilan di saat usaha mereka lesu terdampak pandemi.

Cangkang yang menjadi bahan handycraft memang bukan limbah Desa Kalanganyar, tapi limbah hasil tangkapan para nelayan desa tetangga, yakni Desa Gisik Cemandi dan Desa Banjar Kemuning yang juga masuk Kecamatan Sedati. Keduanya terletak di utara Desa Kalanganyar, di mana wilayah Desa Banjar Kemuning bahkan persis di sebelah timur runaway Bandara Juanda yang membentang dari barat ke timur.

Terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan rakyat di tepi sungai Desa Gisik Cemandi yang menjadi tempat berlabuh perahu-perahu milik sekitar 50 nelayan tradisional yang tak lain warga setempat.

Pelabuhan Rakyat Gisik Cemandi
Kapal nelayan di pelabuhan rakyat Giisik Cemandii, nelayan lebih suka menjual daging kerang tanpa cangkang karena harganya naik lebih dari 10 kali lipat.(pmp-hapsah)

Menurut Arif (31), salah satu nelayan, teman-temannya lebih suka menangkap kerang dibanding ikan. “Menangkap kerang jauh lebih mudah dan pasti dapat hasil, berbeda dengan mencari ikan yang belum tentu dapat hasil,” katanya.

Rata-rata dalam sehari setiap nelayan bisa menangkap satu kuintal kerang atau total 50 kuintal dari 50 nelayan. Kerang hasil tangkapan mudah dijual karena merupakan salah satu bahan makanan favorit warga Sidoarjo dan Surabaya untuk diolah menjadi sayur, botok, atau sate.

Kerang hasil tangkapan nelayan jika dijual dengan cangkang harganya Rp 2.500 per kg, sementara jika dijual hanya daging tanpa cangkang harganya justru melejit mencapai Rp 28 ribu hingga Rp 35 ribu per kg.

Oleh sebab itulah para nelayan lebih suka menjual daging kerang tanpa cangkang karena harganya naik lebih dari 10 kali lipat. Namun dampaknya ya itu tadi, cangkang pun menjadi limbah yang bermasalah bagi lingkungan karena memenuhi bantaran sungai di pelabuhan rakyat, di antara tanaman bakau, serta mengeluarkan bau amis menyengat.

“Sebenarnya ada pengepul cangkang untuk dijadikan makanan bebek. Namun karena pengepulnya hanya satu orang, limbah cangkang tetap saja menggunung. Makanya saya senang ketika ibu-ibu Kalanganyar rutin datang kemari mengambil cangkang,” kata Arif.

KeCe Kalanganyar Pertamiina DPPU Juanda
Cyntya Sri Zuwanita, Community Development Officer Pertamina DPPU Juanda (empat dari kiri), bersama Ibu-Ibu kelompok KeCe berburu cangkang di bantaran sungai Gisik Cemandi.(dok pribadi)

Cangkang Jadi Cuan

Para ibu pengambil cangkang yang dimaksud Arif tak lain Umi Salamah (46) dan kawan-kawan yang rutin seminggu sekali datang untuk mengambil limbah cangkang secara cuma-cuma di bantaran sungai pelabuhan rakyat Gisik Cemandi.

“Biasanya kami datang berlima atau berenam mencari cangkang. Ada cangkang kerang darah, kerang kaca, kerang dengkul, kerang mutiara, atau kerang batik, mulai ukuran kecil hingga besar. Kami bisa mengumpulkannya sampai sekarung,” kata Umi yang didapuk menjadi ketua kelompok pengrajin kerang.

Cangkang hasil berburu terlebih dulu dicuci dengan air sabun untuk membersihkan kotoran dan menghilangkan bau amis, kemudian dicuci lagi dengan air campuran HCl atau asam chlorida agar warna cangkang lebih terang. Setelah itu dijemur sekitar dua hari sampai tiga hari dan barulah cangkang siap dirakit menjadi handycraft.

KeCe Kalanganyar DPPU Juanda
Cangkang hasil berburu terlebih dulu dicuci dengan air sabun untuk membersihkan kotoran dan menghilangkan bau amis.(pmp-hapsah)

Para ibu itu ternyata telah mahir mengolah cangkang menjadi kerajinan tangan bernilai jual dengan label KeCe, seperti bros, kalung, gantungan kunci, vas bunga, asbak, tempat tisu, pigura, kap lampu, atau konektor masker yang kini paling banyak dipesan di masa new normal pandemi COVID-19.

Baca Juga :   Pertamina Borong 7 Penghargaan BPH Migas 2021

Harga produk KeCe bervariasi mulai dari Rp 7 ribu sampai Rp 75 ribu, contohnya bros kecil Rp 7 ribu, konektor masker Rp 15 ribu, bros dagu Rp 15 ribu, botol souvenir antara Rp 15 ribu–Rp 25 ribu, vas bunga Rp 25 ribu, pigura Rp 35 ribu, asbak Rp 20 ribu, atau kap lampu dari botol bekas minuman bersoda Rp 75 ribu.

Mereka bisa membuat berbagai model kerajinan dari cangkang berkat pelatihan yang diberikan secara intensif lima kali pada empat bulan lalu oleh Pertamina DPPU Juanda, selain juga terus disuplai berbagai contoh handycraft cangkang untuk menjadi sumber ide sekaligus tantangan agar terus mengasah keterampilan menghasilkan produk lebih bagus.

“Kami senang karena pelatihan yang diberikan Pertamina DPPU Juanda lengkap, mulai cara mencari dan memilih bahan baku cangkang, cara membersihkan, teknik membuat hingga cara memasarkan yang bisa menghasilkan cuan,” kata Umi yang selalu ceria.

KeCe Kalanganyar DPPU JUanda
Pelatihan yang diberikan Pertamina lengkap, mulai memilih bahan baku cangkang, teknik membuat hingga cara memasarkan yang bisa menghasilkan cuan.(pmp-hapsah)

Sementara menurut Fida Febriyanti (33), bendahara KeCe, sebelumnya sudah ada berbagai pelatihan dari beberapa pihak buat para ibu Desa Kalanganyar, seperti mengolah limbah plastik atau bekas kemasan makanan ringan.

“Tapi setelah kerajinan dibuat, kami tak tahu harus dijual ke mana, sehingga rumah justru penuh sesak barang kerajinan dan ujung-ujungnya malah jadi sampah. Sementara Pertamina memberi solusi penjualan yang tepat sasaran, misalnya kami disarankan membuat bros kecil untuk dijual murah meriah kepada anak-anak sekolah dan ternyata memang laku,” papar Fida tersenyum.

Laiknya ibu-ibu kelompok Olikan, ibu-ibu kelompok KeCe juga mendapat bantuan modal awal Rp 1 juta dari Pertamina, etalase, plastik kemasan hingga logo KeCe, plus alat merakit untuk masing-masing anggota yakni lem tembak listrik, bor listrik, pinset dan gunting.

Hal yang menggembirakan, produk KeCe yang juga dipajang di etalase BUMDes Kalanganyar Makmur ternyata banyak disukai warga maupun masyarakat luas.

“Selain pesanan perorangan, kami sudah sering mendapatkan pesanan souvenir untuk hajatan atau instansi. Minggu ini saja sudah ada yang pesan souvenir hiasan meja, gantungan kunci dan gantungan spion mobil sebanyak 200 pieces,” kata Umi sumringah.

Wajar jika anggota KeCe yang rata-rata mampu membuat  lima sampai tujuh kerajinan per hari itu gembira, karena mereka bakal mendapatkan cuan alias uang atau keuntungan dari setiap handycraft yang terjual.

KeCe kalanganyar Pertamina DPU Juanda
Harga produk KeCe bervariasi mulai dari Rp 7 ribu sampai Rp 75 ribu.(pmp-hapsah)

Menurut Fida, manajemen keuangan KeCe telah disepakati di antara anggota, di mana hasil penjualan sebuah produk dibagi 50% modal  dan 50% hak pembuat produk. Oleh sebab itu pada setiap kemasan KeCe diberi tanda khusus siapa pembuat produk tersebut.

“Pemberian tanda dilakukan demi keadilan, agar ibu yang bisa membuat bagus mendapatkan hasil bagus, sementara yang belum bagus akan berupaya meniru dan terus belajar agar produknya menjadi bagus,” jelas Fida.

Hak Paten Kerupuk Olikan

Cyntya Sri Zuwanita, Community Development Officer Pertamina DPPU Juanda, yang sejak awal mendampingi para ibu Olikan dan KeCe, mengaku ikut bersemangat melihat perkembangan dua kelompok tersebut selama empat bulan, serta berkomitmen bakal terus mendampingi mereka dan membantu membuka pasar dengan mengikutsertakan dalam berbagai pameran UMKM baik tingkat lokal maupun nasional.

Cyntya bahkan memotivasi Umi Salamah dan kawan-kawan bahwa produk KeCe suatu saat bisa menjadi cinderamata PT Pertamina Patra Niaga Marketing Regional Jatimbalinus, asalkan kualitasnya memenuhi standar yang ditetapkan sehingga mereka harus terus mengasah keterampilan untuk menghasilkan produk souvenir terbaik.

Sementara untuk Kerupuk Olikan, Pertamina bakal segera membantu mengurus hak paten, izin BPOM, sertifikasi halal, maupun izin Produksi Industri Rumah Tangga (PIRT).

“Masalah hak paten sangat penting agar apa yang telah dirintis ibu-ibu Olikan bisa mereka nikmati. Jangan sampai ide pembuatan sisik ikan jadi kerupuk, nantinya malah diproduksi dan dipatenkan pihak lain karena banyak sekali yang berminat dengan kerupuk sisik ikan bandeng ini,” tegas Cyntya.

KeCe Kalanganyar Pertamina
Umi Salamah (kiri) dan Fida memamerkan handycraft cangkang buatan ibu-ibu kelompok KeCe.(pmp-hapsah)

Deden Mochammad Idhani, Area Manager Communication & CSR PT Pertamina Patra Niaga Marketing Region Jatimbalinus, menyatakan mendukung penuh ikhtiar DPPU Juanda memberdayakan ibu-ibu Desa Kalanganyar mengolah limbah sisik ikan bandeng dan limbah kerang agar bernilai jual karena sejatinya turut mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Sebab target dari Program TJSL Pertamina tak lain meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan, khususnya di sekitar wilayah operasi perusahaan,” kata Deden.

Menurutnya, realisasi program TJSL di wilayah Jawa Timur di sepanjang tahun 2021 sejauh ini telah mencapai Rp 15,9 miliar, di mana setiap tahun Pertamina selalu mengalokasikan sebagian dari laba perusahaan untuk pelaksanaan Program TJSL, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.

“Pelaksanaan Program TJSL merupakan bukti komitmen Pertamina dalam penerapan environmental, social and governance (ESG) sebagai upaya berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs),” pungkas Deden.(siti hapsah agustin)