PenaMerahPutih.com
HeadlineIndeksNusantara

Perbedaan Data Pusat dan Daerah Hingga Perencanaan Copy Paste Hambat Penanganan Stunting di Indonesia

Surabaya, pmp – Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Sri Sumarmi, S.KM., M.Si menyatakan bakal sulit mencapai target Pemerintah untuk menurunkan tingkat tingkat prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen di tahun 2024.

“Tantangan penurunan angka prevalensi stunting salah satunya diakibatkan problematika regulasi dan data di tingkat daerah maupun pusat,” kata Prof Mamik, sapaan akrabnya dalam Seminar dan Forum Ilmiah Nasional Online bertajuk Kajian Ilmiah untuk Konvergensi Intervensi Spesifik dan Sensitif untuk Menuju Indonesia Bebas Stunting, Senin (8/11/2021).

Prof Mamik menyebut ia bersama dosen maupun mahasiswa di FKM Unair telah sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah dan hasilnya menemukan banyak perbedaan kontras antara data stunting nasional dengan daerah.

Baca Juga :   Ini Tips Tetap Sehat di Musim Hujan Nasihat Pakar Kesehatan Masyarakat Unair

“Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali,” jelasnya.

Perbedaan tersebut akhirnya mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin, sementara data rutin dari pemerintah pusat jauh berbeda.

Oleh karena itu, Prof Mamik menyarankan pemerintah daerah untuk memakai data rutin daerah yang dilakukan dengan proses pengukuran dan analisis yang benar dan menggunakan alat terstandar.

“Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat,” imbuhnya.

Prof Mamik juga mengkritisi perencanaan penanganan stunting di daerah yang kebanyakan copy paste dari perencanaan tahun sebelumnya. “Kami pernah menemui itu dan diakui sendiri oleh kepala dinasnya. Mereka hanya tinggal mengganti tahun,” cerita Prof Mamik.

Baca Juga :   Musbahu Mahasiswa Nigeria Menang Lomba Pidato Berbahasa Indonesia

Dalam situasi tersebut, Prof Mamik menilai perguruan tinggi dapat hadir untuk membantu pencegahan stunting sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Pada segi pendidikan, Prof Mamik mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak mata kuliah atau kegiatan yang membahas isu-isu stunting. FKM UNAIR misalnya memasukkan isu stunting dalam kurikulum melalui mata kuliah Program Gizi dan Evaluasi.

Selain itu, praktik kerja lapangan maupun kuliah kerja nyata juga banyak dilakukan mahasiswa FKM UNAIR dengan menerapkan ilmu-ilmu pengukuran anak stunting seperti metode antropometri sebagai bentuk pengabdian masyarakat.

“Dosen-dosen FKM Unair juga sering memberikan masukan dan pendampingan. Ada 11 kabupaten yang kita dampingi saat penyusunan regulasi pencegahan stunting. Kita juga memberi pendampingan posyandu bagi 18 kabupaten di Jawa Timur,” kata Prof. Mamik.

Baca Juga :   Makan Gorengan Tetap Sehat Saat Berbuka Puasa, Ini Caranya

Dalam segi penelitian, perguruan tinggi dapat berkontribusi pada intervensi spesifik dan interensi sensitif melalui penelitian berupa riset implementasi. Artinya, riset dibuat dan ditujukan untuk implementasi nyata bagi masyarakat. Hasil riset itupun nantinya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan regulasi penanganan stunting.

“Untuk itu prinsip kolaborasi pentahelix untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia di mana prinsip sinergitas tersebut menekankan kerja sama, komitmen, kepercayaan, serta budget sharing antar institusi,” pungkas Prof Mamik. (meg)