PenaMerahPutih.com
Headline Indeks Sehat Cantik Tren

Mengenal Toxic Masculinity, dari Sejarah hingga Dampak Psikologis

Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog Unair.

Surabaya, PMP – Dewasa ini, pembahasan mengenai toxic masculinity banyak kita temui utamanya di media sosial. Istilah ini merujuk pada tekanan ekstrem yang dirasakan kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu.

Umumnya, toxic masculinity berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada pada pria misalnya keharusan seorang pria menjadi sosok yang kuat.

Fenomena toxic masculinity erat kaitannya dengan pandangan tradisional mengenai maskulinitas.

“Sejak dahulu kita selalu disosialisasikan mengenai nilai-nilai yang seharusnya melekat pada pria seperti kuat, agresif, petarung, serta pemburu. Hal ini mengarah pada menonjolnya kekuatan fisik yang dimiliki pria,” terang Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog, Kamis (2/6/2022).

Sejarah mencatat bahwa penguasa pria memang terlihat lebih mudah memperoleh kekuasaan dengan cara menaklukkan orang lain.

Baca Juga :   Mahasiswi Program Dokter Spesialis Unair Raih Puteri Pendidikan Indonesia

“Pria merasa gagal jika tidak mampu mencerminkan stereotip tersebut dan berusaha mengangkat kembali sifat-sifat maskulinnya untuk bisa bertahan hidup,” jelas Dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga ini.

Di Indonesia sendiri, sambung Dr Ike, toxic masculinity masih banyak ditemui di tengah masyarakat. Frasa-frasa seperti ‘Pria itu tidak boleh menangis,’ ‘Pria itu harus kuat, jangan lemah,’ ‘Pria itu harus melawan, jangan diem aja,’ masih kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.

“Alih-alih memberikan perhatian, yang ada bisa membuat pria menjadi merasa kehilangan harga diri dan bingung dengan kemampuan dirinya. Bahkan, toxic masculinity ini dapat mengganggu kesehatan mental individu,” ungkap Dr Ike.

Dr Ike menekankan pentingnya pengendalian stigma mengenai pria guna mengatasi fenomena satu ini. Di samping itu, penting pula untuk membangun relasi yang sehat, saling mendukung pilihan pribadi tanpa embel-embel stereotip gender, serta memperbaiki konsep maskulinitas yang keliru.

Baca Juga :   Cegah Infeksi Luka dengan Kulit Pisang Kepok Inovasi Mahasiswa Unair

Ia juga berpesan agar para orang tua membangun pola asuh yang positif serta suportif bagi anak laki-laki. “Jangan mengarahkan pada nilai kelaki-lakian secara berlebihan seperti anak laki-laki nggak boleh nangis dan sebagainya,” pungkas Dr Ike.(els)