Pengantar: Perselisihan, pertikaian dan perseteruan agaknya menjadi santapan keseharian kita di media massa. Sebut saja konflik Pilkada Jakarta, yang berlanjut dengan keluarnya Perppu Ormas. Belum lagi, munculnya kegaduhan antara DPR melawan KPK terkait Hak Angket KPK yang dipicu mega korupsi e-KTP. Pro dan kontra di mana-mana.
Persoalannya, kegaduhan tak hanya berkelindan di sekitar elite di pusat, tapi juga menyebar ke para pendukung atau kelompok. Bahkan selanjutnya, begitu cepat menyebar ke seantero negeri melalui sosial media. Memang, semua pihak pasti berharap agar kegaduhan di sosmed hanya sebatas perselisihan ide dan gagasan di dunia maya.
Namun, ada hal yang perlu dicatat bahwa pertikaian sejatinya salah satu tahapan (tahap adu domba) dalam strategi Perang Modern yang dilontarkan pihak asing yang tak ingin Indonesia menjadi negara besar dan kuat. Perang yang juga disebut sebagai Perang Asimetris ini tak melibatkan militer, tak menggunakan senjata, meski munurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, daya hancurnya lebih dahsyat dari bom atom. Berikut analsis Hendajit, pengkaji geopolitik dari Global Future Institute (GFI):
Perang konvesional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka dibandingkan Perang Modern atau Perang Asimetris yang cenderung nonmiliter dan nonkekerasan, sejatinya serupa tetapi tidak sama. Serupa pada ‘pola’nya, namun tak sama atau berbeda dalam hal ‘sifat’ dan ‘aksi-aksi’nya.
Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia militer. Tahap pertama adalah ‘Bombardir’. Entah bombardir melalui pesawat tempur, atau mengerahkan pasukan artileri (pasukan bersenjata berat) dari jarak jauh.
Tahap kedua adalah masuknya pasukan kavaleri berupa tank-tank atau kendaraan lapis baja lainnya; dan tahap ketiga adalah pendudukan oleh pasukan infanteri. Inilah pola yang lazim dan garis besar pada perang militer secara terbuka.
Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan diurai secara rinci. Bukan apa, karena tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para ahli dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya, melainkan sekadar berbagi pemahaman terkait ‘pola perang’ yang nanti dibahas lebih lanjut. Sebab pola tersebut ternyata memiliki roh yang sama, walau ujud atau aksinya berbeda.
Bombardir Isu di Perang Modern
Bombardir di awal perang konvensional, ternyata juga dilakukan pada awal Perang Modern atau Perang Asimetris. Namun peluru diganti dengan isu-isu yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan terlibat. (LSM dan/atau sosok tertentu).
Pada ‘Aksi Mei 1998’ misalnya, isu yang disebar ke tengah-tengah masyarakat untuk menggiring opini publik adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Begitu pula dengan pergolakan The Arab Spring atau kebangkitan dunia Arab di Jalur Sutera, isunya hampir tidak berbeda dengan kejadian di Jakarta, karena berkisar tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin tirani, dan lain-lain. Itulah isu yang menjadi bahan baku atau taburan awal sebuah Perang Asimetris melalui aksi massa.
Sedangkan ‘Masuknya Kavaleri’ sebagaimana tahapan perang konvesional, pada Perang Asimetris disebut dengan ‘Tema’ atau ‘Agenda’. Sekali lagi The Arab Spring contohnya, temanya adalah gerakan massa untuk menurunkan rezim penguasa, setelah sebelumnya dibombardir oleh isu-isu.
Demikian juga dengan tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998, kendati kejatuhan elite penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka untuk kolonialisme yang lebih luas, masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang Tema dalam perang nonmiliter.
Berbeda Tapi Tujuannya Sama
Tahap akhir dalam pola perang militer adalah ‘Masuknya Infanteri’ guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang nir-militer adalah kendali sistem ekonomi dan kontrol sumber daya alam di negara target.
Itulah ‘Skema Penjajahan Gaya Baru’ sebagaimana doktrin kolonialisme yang dikumandangkan oleh Henry Kissinger, mantan Menlu AS.
Dengan demikian, pola-pola yang sama dilakukan pada perang konvensional maupun Perang Modern, namun berbeda pada tataran aksi-aksinya.
Bila perang militer tahapannya: bombardir, masuknya kavaleri, dan pendudukan oleh Infanteri, maka pola Perang Modern tahapannya adalah isu, tema, serta skema kendalikan perekonomian atau SDA. Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa tetapi tak sama. Berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.
(Bersambung…)
Baca juga:
- Perang Modern Murah Meriah, Daya Hancurnya Lebih Dahsyat dari Bom Atom (Bag 1)
- Perang Modern Andalkan Pengerahan Massa, Kerusuhan Mei 1998 Contohnya (Bag 2)
- Perang Modern Perlu Komprador, Mereka yang Siap Hancurkan Negara Sendiri (Bag 4)
(Hendrajit, pengkaji geopolitik dari Global Future Institute)