
JAKARTA, PMP – Erros Djarot, budayawan multitalenta dengan mahakarya album “Badai Pasti Berlalu”, film “Tjoet Nja’ Dhien”, dan tabloid politik DëTIK, merilis dua buku berjudul “Autobiografi Erros Djarot” jilid 1 dan “Erros Djarot Apa Kata Sahabat”. Peluncuran buku ini ditandai dengan penyerahan penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori “Buku Autobiografi Pertama yang Ditulis dengan Kaidah Sastra” yang diserahkan oleh Jaya Suprana, serta bedah buku oleh wartawan senior Bambang Harymurti.
“Saya tulis buku autobiografi ini melalui renungan di ruang kontemplasi berhari-hari, hingga saya putuskan untuk mulai menulis dengan berpegang pada pijakan moral: tulis sejujurnya, walau tak sedap untuk dibaca oleh sejumlah pihak, asal jangan sekali pun mengada-ada atau menulis sesuatu yang tidak pernah ada dan terjadi,” kata Erros Djarot saat peluncuran buku di Midaz Senayan Golf, Jakarta, Minggu (19/10/2025).
Hadir pada launching buku di antaranya Guntur dan Guruh Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, Ganjar Pranowo, Roy Marteen, Slamet Rahardjo, Berlian Hutauruk, Keenan Nasution, Aburizal Bakrie, Menkop Ferry Juliantono, Bambang Soesatyo, Putih Sari, dll.
Menurut M. Anis, wartawan senior editor buku ini, buku autobiografi dengan hard cover setebal 691 halaman yang ditulis Erros merupakan sebuah kisah nyata yang memenuhi semua kaidah-kaidah sastra: ada tokoh, ada alur cerita, ada dialog, ada plot, imajinasi, gagasan, perenungan, konflik, bahkan konfirmasi dan kroscek data, sehingga bisa dikategorikan karya sastra nonfiksi.
Adapun buku “Erros Djarot Apa Kata Sahabat” setebal 666 halaman dengan hard cover, berisi tulisan dari 72 sahabat tentang Erros Djarot yang di antaranya ditulis: Guntur Soekarnoputra, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Mahfud M.D., Laksamana Sukardi, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Kesaksian para sahabat ini mengonfirmasi tulisan Erros di buku autobiografinya. Misalnya Laksamana Sukardi yang menegaskan peran penting Erros yang menjadi pembimbing politik Megawati saat melawan rezim Orde Baru. Buku “Autobiografi Erros” yang dibanderol Rp 170 ribu dan “Erros Djarot Apa Kata Sahabat” Rp 155 ribu hanya bisa dibeli melalui online Budaya Cerdas dan e-commerce Tokopedia dan Shopee.
Bambang Harymurti dalam bedah buku autobiografi Erros Djarot mengatakan, bahwa awalnya dirinya merasa berat begitu mengetahui buku itu setebal hampir 700 halaman, sementara dia sudah terlanjur menyatakan sanggup kepada Erros untuk menjadi pembedah buku tersebut.
” Tapi dua hari begitu buku datang dan saya baca, saya merasa bahwa buku ini seperti motto majalah TEMPO di mana setengah usia saya habiskan untuk membesarkannya, yaitu Enak Dibaca dan Perlu. Jadi kalau dinilai dari sisi enak dibaca dan perlu, tulisan Mas Erros Djarot di buku autobiografinya ini saya nilai summa cumlaude,” kata Bambang.
Sementara Jaya Suprana mengaku memberi penghargaan rekor MURI kepada Erros karena menganggap Erros adalah sosok renaisance atau manusia tanpa batasan profesi.
” Semua yang dia pegang jadi emas. Saya sebagai pendiri MURI dengan bangga menganugerahkan rekor MURI untuk Mas Erros dengan kategori Buku Autobiografi Pertama yang Ditulis dengan Kaidah Sastra,” kata Jaya Suprana.

Ditugasi Guntur Soekarnoputra
Erros membuka kisah autobiografinya saat menjadi pemimpin tabloid DëTIK dan mendapat penugasan dari Guntur Soekarnoputra atau Mas Tok untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri yang dicalonkan seratusan cabang PDI untuk menjadi ketua umum melalui Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada Desember 1993. Penugasan yang akhirnya mengantar Megawati tidak hanya menjadi Ketua Umum PDI, Ketua Umum PDI Perjuangan, tapi juga mengantarnya menjadi Presiden ke-5 RI. Erros secara detail memaparkan dialog pertemuan antara dirinya dengan Megawati dan Taufiq Kiemas, begitu menerima penugasan dari Mas Tok, untuk menyatukan langkah awal melawan rezim Orde Baru.
Erros kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya sejak usia 9 tahun ketika kedua orang tuanya bercerai dan menjadi anak broken home, menjadi aktivis Banteng sejak duduk di bangku SMP 8 di Jl Jenderal Sudirman Yogyakarta dan dilarang berpolitik praktis oleh bapaknya yang tentara AU begitu meletus peristiwa G-30-S/PKI, mulai bermusik sejak SMA dan kemudian bersahabat dengan Bambang Trihatmodjo, anak Soeharto, nekat kuliah ke Jerman dengan menjual sepeda motor untuk membeli tiket pesawat, menjadi buruh angkut di Jerman Barat, dan kemudian menjadi pemusik café untuk hidup dan biaya kuliah.
Erros juga mengisahkan proses kreatifnya melahirkan lagu “Bisikku” bersama Barong’s Band yang menjadi soundtrack film “Kawin Lari” besutan sutradara Teguh Karya yang menghasilkan Piala Citra pertamanya sebagai music director di usia 25 tahun. Proses kreatifnya menciptakan lagu-lagu di album “Badai Pasti Berlalu”, seperti “Merpati Putih”, “Pelangi”, atau “Badai Pasti Berlalu” bersama Debby Nasution, Chrisye, dan Yockie Suryo Prayogo. Termasuk memaparkan detail bagaimana dia pernah difitnah melarikan uang hasil penjualan kaset “Badai Pasti Berlalu”. Termasuk kisahnya meraih Piala Citra keduanya sebagai music director di film “Badai Pasti Berlalu”.
Erros juga mengisahkan kehidupan percintaannya hingga menikahi Dewi Trijati yang merupakan putri sulung dari Wakil Dubes RI di Jerman Barat, Ilen Surianegara. Mengisahkan proses perjuangan istrinya yang sempat mati suri saat melahirkan anak pertama Banyu Biru, di St Mary’s Hospital London yang juga tempat kelahiran King Charles, kelahiran anak kedua Sekar Putih di Aljir Aljazair saat mertuanya Ilen Surianegara menjadi Dubes, termasuk dialog-dialog kritisnya dengan Ilen Surianegara dan Cak Roeslan Abdulgani yang merupakan para mentor politiknya selama melawan Orde Baru.
Kenekatan dan kejailan strategi Erros membuatnya berhasil memperoleh beasiswa dari British Council untuk bersekolah film di London International Film School, yang kelak bakal menjadi bekalnya untuk menyutradari film “Tjoet Nja’ Dhien” yang meraih delapan Piala Citra pada FFI 1988, tiga di antaranya buat Erros sebagai sutradara, penulis skenario dan cerita asli terbaik, serta menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Cannes Film Festival tahun 1989.(hap)












