Surabaya, penamerahputih.com – Beroperasinya pabrik semen Rembang milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk ternyata membuat takut perusahaan-perusahaan semen asing dalam perebutan pasar semen di Pulau Jawa yang menyedot 60 persen konsumsi semen nasional. Ada upaya asing mengganjal dominasi Semen Indonesia di negeri sendiri.
Hal itu terungkap dalam diskusi ‘Semen Rakyat Melawan Semen Asing’ yang digelar di Surabaya, Sabtu (10/6/2017). Menjadi pembicara dalam diskusi itu Djuni Thamrin pengamat kebijakan publik dari Concern Think Thank Institute dan Agung Wiharto, corporate secretary PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Fakta menunjukkan bahwa empat besar produsen semen dunia sudah masuk ke Indonesia. Pertama adalah Lafarge Holcim asal Perancis. Mereka memiliki pabrik di Aceh, Cibinong (Jabar), Cilacap (Jateng) dan Tuban (Jatim).
Kedua Anhui CONCH asal China yang memiliki pabrik di Manokwari (Papua), Manado (Sulut), Kalimantan dan Jakarta yang berkapasitas 4 juta ton.
Ketiga, CNBM (China National Building Materials) asal China. “Mereka secara formal belum masuk, tapi jejaknya sudah tampak di Wonogiri dan Grobogan Jawa Tengah,” kata Agung Wiharto.
Sementara keempat Heidelberg asal Jerman yang memiliki Indocement dan pabriknya berada di Citeureup (Jabar) dan Kalsel. Sedangkan Semen Indonesia yang merupakan perusahaan milik pemerintah Indonesia justru masih berada di peringkat 21 dunia.
Empat produsen semen dunia tadi rupanya memahami bahwa pasar semen di Indonesia sangatlah besar. Belum lagi fakta bahwa pemerintah Indonesia saat ini dan ke depan sedang fokus membangun infrastruktur di seluruh negeri.
“Jangan lupa bahwa kita juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Artinya Indonesia merupakan pasar semen yang sangat luar biasa,” kata Agung Wiharto.
Apalagi ternyata tingkat konsumsi semen di Indonesia masih rendah. Konsumsi semen di Indonesia apabila dihitung berdasarkan jumlah populasi penduduk angkanya 260 kg/orang/tahun. Jumlah yang kecil jika dibandingkan negara jiran Malaysia yang angkanya di atas 600 kg/orang/tahun. Atau bahkan Vietnam di atas 500 kg/orang/tahun.
Ambisi Patahkan Dominasi BUMN
Saat ini, total produksi semen secara nasional dari Semen Indonesia dan semen-semen asing yang berproduksi di negeri ini mencapai 100 juta ton per tahun. Sementara konsumsi semen secara nasional untuk tahun 2017 sebesar 70 juta ton.
Dari total 70 juta ton konsumsi nasional, sebanyak 60 persen terserap di Pulau Jawa. Sementara Sumatera 20 persen, Sulawesi sekitar 7-8 persen, Bali dan Nusa Tenggara 6 persen, Kalimantan 4 persen, serta Papua dan Maluku 2 persen.
Memang muncul pertanyaan, jika kelebihan produksi 30 juta ton, mengapa Semen Indonesia harus membangun pabrik semen di Rembang?
“Jangan lupa itu untuk persiapan tahun 2021. Over supply 30 juta ton saat ini bakal habis terserap begitu masuk tahun 2021 karena konsumsi semen tiap tahun bakal terus meningkat,” kata Agung.
Nah, jika Semen Indonesia tidak mempersiapkan pabrik semen Rembang, toh peluang membangun pabrik semen baru tetap bakal diambil oleh para pesaing yang notabene semen asing dan merupakan empat besar dunia.
Saat ini, total produksi Semen Indonesia adalah 30 juta ton per tahun dari total produksi nasional 100 juta ton tadi. “Tapi kami menjadi penguasa pasar semen di Indonesia sebanyak 42 persen dari total konsumsi nasional,” kata Agung.
Daya Dobrak Semen Rembang
Jadi mengapa beroperasinya pabrik semen Rembang membuat takut pesaing-pesaing asing?
Untuk memenuhi kebutuhan semen di Pulau Jawa yang menyedot 60 persen konsumsi semen nasional, Semen Indonesia mengandalkan pabrik semen Tuban yang berkapasitas 14 juta ton. Sementara Lafarge Holcim memiliki 5 juta ton di Cibinong, 2,5 juta ton di Cilacap dan 3,4 juta ton di Tuban.
Sedangkan Heidelberg melalui Indocement memiliki kapasitas 22 juta ton di Citeureup dan 2,5 ton di Cirebon. “Mereka produksinya terbesar di Jawa,” tambah Agung.
Namun faktanya, penguasa pasar semen di Jawa Timur adalah Semen Gresik (produksi Semen Indonesia) sebesar 75 persen, diikuti Holcim 12 persen dan Indocement dengan produk Semen Tiga Roda sebesar 9 persen.
Sementara di Jateng dan DIY, penguasa pasar juga Semen Gresik sebesar 43 persen, diikuti Indocement 30 persen. Sedangkan Jawa Barat memang dikuasai Semen Tiga Roda Indocement sebesar 50 persen, disusul Semen Gresik dan Holcim.
“Jadi hanya dengan mengandalkan pabrik di Tuban saja, kami bisa menguasai pasar di Pulau Jawa sebesar 39 persen, terutama Jatim dan Jateng. Bayangkan daya dobraknya jika pabrik Rembang yang berkapasitas 3 juta ton mulai berproduksi,” tegas Agung.
Menurutnya, jika semen Rembang telah beroperasi, produksi pabrik Tuban bakal dikonsentrasikan untuk memenuhi kebutuhan semen di Jatim, Bali dan Kalimantan. Sementara pabrik Rembang bakal dipergunakan untuk mensuplai kebutuhan Jateng, DIY dan Jabar.
Nah, menjadi wajar jika kemudian muncul upaya-upaya mengganjal agar pabrik semen Rembang yang telah berdiri dan menghabiskan investasi Rp 4,9 triliun tidak bisa segera beroperasi. Semen Rembang yang sedianya bakal diresmikan pada bulan April 2017, ternyata belum diizinkan menambang hingga saat ini.
Baca juga: Terkait Semen Rembang, Presiden Jokowi Sedang Dibajak Para Pembantunya
Sementara itu, Djuni Thamrin mengingatkan bahwa Semen Gresik –cikal bakal Semen Indonesia– pertama kali diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno pada 7 Agustus 1957. “Bung Karno saat itu berpesan agar pabrik Semen Gresik yang merupakan alat perjuangan bangsa jangan pernah dihancurkan,” katanya.
Begitulah, beroperasinya pabrik semen Rembang bakal memperkuat dominasi Semen Indonesia di pasar semen di negeri ini. Sebagai perusahaan BUMN, memang sudah seharusnya Semen Indonesia kokoh dan tak tertandingi di negeri sendiri. Jas Merah pesan Bung Karno. Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.(bhimo)