
SURABAYA, PMP – Mulai Januari 2025, pemerintah menetapkan batas usia pensiun pekerja dari 58 tahun menjadi 59 tahun, sebagai bagian strategi jangka panjang sesuai PP 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.
Menurut pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr H Jusuf Irianto Drs MCom, kebijakan kenaikan usia pensiun berlaku bagi pekerja yang terdaftar dalam program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan.
“Sebenarnya tidak ada yang spesial dalam kebijakan karena aturan sudah berlaku sejak 2015. Yang ada sekarang adalah kelanjutan aturan sebagai hasil monitoring dan evaluasi kebijakan yang berjalan sejak satu dekade lalu,” ujarnya.
Sesuai PP 45/2015, menurut Prof Jusuf, usia pensiun pekerja akan mengalami kenaikan satu tahun setiap tiga tahun sekali. Kenaikan dimulai sejak 2019 dengan penetapan usia pensiun pertama kali pada usia 57 tahun. Usia pensiun akan terus bertambah hingga mencapai usia 65 tahun.
“Jadi kenaikan usia pensiun bukan langkah baru, namun hanya kelanjutan dari implementasi dari kebijakan yang sudah berjalan,” tambah Prof Jusuf.
Oleh sebab itu, pekerja yang berusia 59 tahun pada 2025 akan memasuki masa pensiun dan mulai menerima manfaat pensiun dari program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan. Sementara bagi pekerja berusia 58 tahun pada 2025, baru akan pensiun pada tahun berikutnya, yaitu pada 2026, saat mereka mencapai usia 59 tahun. Aturan ini memperjelas hak-hak pensiun pekerja yang telah memasuki usia pensiun dan mempermudah perencanaan keuangan bagi mereka yang mengikuti program jaminan pensiun.
“Hal yang positif, kebijakan baru ini memberi keleluasaan atau fleksibilitas pekerja yang ingin bekerja meski telah memasuki usia pensiun. Sehingga mereka bisa memilih untuk menerima manfaat pensiun saat mencapai usia tersebut atau setelah mereka memutuskan untuk berhenti bekerja,” tutur dosen Fisip Unair ini.
Menekan Biaya Rekrutmen
Kebijakan ini tentunya menimbulkan dinamika dalam dunia kerja. Dengan kelonggaran bagi pekerja untuk tetap bekerja hingga tiga tahun setelah usia pensiun, perusahaan mendapatkan keuntungan besar dari retensi sumber daya manusia yang berpengalaman. Sehingga dapat menekan biaya rekrutmen dan seleksi pekerja baru. Namun bagi pekerja, tantangan terbesar adalah menjaga kesehatan dan produktivitas di tengah ritme kerja yang terus berubah.
“Perusahaan hendaknya menyiapkan fasilitas kesehatan untuk menjaga kebugaran pekerja serta memiliki skema aging management atau manajemen pekerja senior yang lebih efektif,” saran Prof Jusuf.
Dampak lain dari kebijakan ini adalah terbatasnya peluang kerja bagi generasi muda, seperti milenial dan gen-z, karena tertundanya pensiun pekerja senior. Oleh karena itu, pemerintah harus menambah lapangan pekerjaan untuk mencegah peningkatan angka pengangguran dan memanfaatkan bonus demografi yang ada.
“Dalam pergantian generasi di tempat kerja, generasi muda (generasi milenial dan gen-z mendapat jatah kesempatan atau peluang bekerja yang lebih sempit alias terbatas, karena tertundanya usia pensiun. Pemerintah harus mampu membuka lapangan kerja seluas mungkin agar jumlah pengangguran tidak meningkat,” ungkapnya.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memperketat aturan penggunaan tenaga asing. Sebaiknya pekerja asing hanya bekerja pada bidang-bidang yang memungkinkan alih teknologi dan pengetahuan, bukan bekerja sebagai tenaga kasar (blue collar).
“Kesempatan kerja semua jenis pekerjaan harus diutamakan bagi pekerja nasional atau lokal, bukan untuk tenaga kerja asing,” tutup Prof Jusuf. (NAS)